Headline.co.id (Jakarta) — Rencana pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinilai sebagai langkah strategis untuk memulihkan daya beli masyarakat sekaligus menggerakkan sektor riil. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai kebijakan tersebut dapat menjadi katalis penting yang memecah stagnasi konsumsi rumah tangga dalam dua tahun terakhir.
“Sejak penyesuaian PPN dilakukan beberapa waktu lalu, terlihat adanya pergeseran pola konsumsi rumah tangga. Porsi tabungan dan dana pihak ketiga di sektor rumah tangga terus menurun, menandakan tekanan pada kemampuan konsumsi masyarakat,” ujar Fakhrul dalam keterangannya kepada InfoPublik, Jumat (17/10/2025).
Menurut Fakhrul, penurunan tarif PPN tidak hanya berdampak jangka pendek pada peningkatan konsumsi, tetapi juga berkontribusi terhadap pemulihan struktur ekonomi nasional yang lebih sehat dan inklusif. Ia menilai, langkah ini dapat menciptakan efek berantai positif terhadap berbagai sektor produktif yang selama ini mengalami tekanan akibat menurunnya daya beli masyarakat.
“Penurunan PPN akan menggairahkan sektor riil karena harga barang dan jasa turun, sehingga langsung terasa oleh masyarakat. Efek domino-nya akan mendorong aktivitas di sektor padat karya seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat mempercepat transformasi usaha informal ke sektor formal. Fakhrul menilai, dengan beban pajak konsumsi yang lebih ringan, pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) akan memiliki insentif lebih besar untuk masuk ke ekosistem formal. “Ini bukan semata soal tarif pajak yang lebih rendah, tetapi soal membuka akses mereka terhadap pembiayaan dan pasar yang lebih luas,” tambahnya.
Fakhrul menegaskan, penurunan PPN tidak serta-merta mengurangi pendapatan negara. Dalam jangka menengah, langkah ini justru berpotensi memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal. Ia menjelaskan, publik akan lebih percaya pada sistem perpajakan yang menunjukkan keberpihakan pada sektor riil dan masyarakat menengah.
Untuk menjaga kesinambungan fiskal, Fakhrul merekomendasikan agar pemerintah melakukan reformasi penerimaan non-PPN secara paralel. Dua hal yang menurutnya krusial adalah memformalkan kembali sektor-sektor yang meningkat ilegalitasnya — seperti peredaran rokok tanpa pita cukai dan perdagangan lintas batas yang rawan miss-invoicing — serta membangun sistem perpajakan dan kepabeanan yang berkeadilan.
“Penerimaan negara tidak harus dikejar lewat tarif tinggi, tetapi melalui sistem yang dipercaya dan adil. Bila ekonomi formal tumbuh, penerimaan pajak akan meningkat secara alami,” tegas Fakhrul.
Dengan kombinasi kebijakan fiskal adaptif, penurunan PPN, dan peningkatan daya beli masyarakat, Fakhrul memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang menembus di atas 5,3 persen pada 2026. “Ini momentum bagi pemerintah untuk mengembalikan optimisme ekonomi domestik. Konsumsi harus dihidupkan kembali sebagai fondasi utama agar kredit dan investasi ikut bergerak. Penurunan PPN adalah langkah berani dan tepat untuk itu,” pungkasnya.



















