Headline.co.id (Jakarta) ~ Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya seorang siswa berusia 13 tahun akibat kasus perundungan antar-pelajar di SMP Negeri 12 Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Ia menegaskan, penanganan kasus tersebut harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak dan keadilan restoratif, mengingat pelaku juga masih berusia anak. Pernyataan ini disampaikan Arifah dalam siaran pers resmi, Selasa (7/10/2025), di Jakarta.
“Kami menyampaikan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) telah diamankan dan ditempatkan di rumah penampungan DP3AKB agar tetap mendapatkan perlindungan dan pendampingan sesuai amanat perundang-undangan,” ujar Menteri Arifah.
Kementerian PPPA memastikan penanganan kasus ini dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak. Melalui UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat, DP3AKB setempat, serta UPTD PPA Provinsi Lampung, koordinasi terus dilakukan dengan pihak kepolisian dan pihak sekolah untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
Selain itu, pemerintah juga menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak pelaku selama proses hukum berlangsung. UPTD PPA telah memfasilitasi agar anak pelaku tetap bisa belajar dan mengikuti ujian di rumah aman. Layanan pendampingan yang diberikan meliputi bantuan hukum, dukungan psikologis, asesmen medikolegal, hingga pemeriksaan berita acara pemeriksaan (BAP).
“Kami memastikan proses hukum berjalan sesuai prinsip perlindungan anak, bukan penghukuman berlebihan,” tegas Arifah Fauzi, menandaskan komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan.
Secara hukum, pelaku dapat dijerat Pasal 80 Ayat (3) jo. 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun, atau Pasal 351 Ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Namun karena pelaku masih berusia anak, proses hukum wajib mengacu pada prinsip diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015.
Arifah juga menegaskan pentingnya asesmen psikologi forensik bagi anak pelaku guna memastikan pendekatan hukum yang tepat dan berkeadilan. “Kami telah menyarankan agar pemeriksaan dilakukan dengan asesmen psikologi forensik. Bila fasilitas belum tersedia, KemenPPPA siap memberikan dukungan teknis,” jelasnya.
Menurutnya, tragedi di Pesisir Barat ini menjadi pengingat pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Pendekatan restoratif, kata Arifah, merupakan langkah terbaik untuk memastikan keadilan yang manusiawi dan berorientasi pada pemulihan, bukan semata-mata penghukuman.
“Perlindungan anak harus menjadi prioritas, termasuk bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pendekatan restoratif diharapkan menjadi jalan keluar yang adil, manusiawi, dan berorientasi pada pemulihan,” pungkas Menteri PPPA.






















