Headline.co.id (Jakarta) —Kemendikdasmen libatkan ratusan guru se-Indonesia dalam webinar kesiapsiagaan demi menjadikan sekolah sebagai zona perlindungan anak. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus memperkuat komitmennya dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, tangguh, dan melindungi anak dari berbagai risiko melalui program unggulan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Lewat gelaran Webinar SPAB Seri 4 bertajuk “Guru Hebat: Punya SOP Kedaruratan dan Melakukan Simulasi di Sekolah”, ratusan guru dari seluruh penjuru Indonesia dihimpun untuk memperdalam pemahaman serta praktik kesiapsiagaan di satuan pendidikan.
Tak hanya sekadar pendidik, guru kini diposisikan sebagai agen pelindung anak dan pelopor budaya aman di sekolah. Webinar ini menjadi bukti konkret bahwa SPAB bukan sebatas program pelengkap, melainkan fondasi sistem pendidikan adaptif terhadap risiko bencana maupun kekerasan.
“Apa yang dilakukan guru sebelum, saat, dan setelah bencana adalah pelajaran nyata tentang keselamatan dan kemanusiaan,” tegas Dirjen GTK PG, Nunuk Suryani, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Senin (28/7/2025). Ia menekankan pentingnya pendidikan kebencanaan sebagai bagian tak terpisahkan dari proses belajar yang memanusiakan anak.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Guru Pendidikan Dasar, Rachmadi Widdiharto, yang mendorong setiap sekolah untuk memiliki SOP kedaruratan sesuai karakter risiko lokal. “SOP tidak boleh hanya menjadi dokumen formalitas. Ia harus disimulasikan secara berkala agar seluruh warga sekolah benar-benar siap menghadapi situasi darurat,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pelatihan ini adalah wujud kasih sayang terhadap anak-anak, menjadikan sekolah sebagai tempat aman—baik secara fisik maupun psikologis.
SPAB tak hanya berfokus pada bencana alam, tetapi juga menjawab tantangan kekerasan dan perundungan di sekolah. Dalam sesi khusus, Kepala DP3A DIY, Erlina Hidayati Sumardi, menggarisbawahi urgensi pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah. “Perlindungan anak harus bersifat sistematis. Tak bisa hanya menunggu laporan masuk. Harus ada sistem pelaporan yang ramah anak dan mudah diakses,” tegasnya.
Penerapan SPAB juga membutuhkan sinergi luas. Muhammad Juarsa dari Plan Indonesia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor—BPBD, dinas pendidikan, hingga masyarakat sipil—untuk memperluas dampak program. SPAB, menurutnya, adalah tanggung jawab bersama.
Kisah dari lapangan pun turut menghidupkan diskusi. Ni Putu Nita Anggraini, fasilitator SPAB dari Bali, membagikan praktik baik edukasi kesiapsiagaan untuk siswa berkebutuhan khusus serta integrasi materi SPAB dalam kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Andrianto, fasilitator nasional, menambahkan bahwa SOP harus terus dievaluasi dan disesuaikan dengan dinamika lingkungan dan hasil simulasi.
“Budaya aman tidak dibentuk sekali. Ia dibangun, dilatih, dievaluasi, lalu diperkuat terus-menerus,” tandas Andrianto.
Dengan pendekatan menyeluruh—melibatkan guru, sistem, dan masyarakat—SPAB hadir sebagai harapan baru untuk mewujudkan sekolah yang tak hanya mendidik, tapi juga melindungi dan memberdayakan setiap anak Indonesia.





















