Headline.co.id, Jakarta ~ Praktik perkawinan anak menjadi tantangan serius dalam pembangunan manusia di Indonesia. Dampak dari perkawinan anak tidak hanya dirasakan oleh anak dan keluarganya, tetapi juga memiliki implikasi luas terhadap kesehatan masyarakat, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial, hingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nasional dalam jangka panjang. Hal ini disampaikan oleh Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti, Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dalam webinar Bahaya Perkawinan Usia Anak yang diadakan di Jakarta dan dikutip pada Rabu (17/12/2025).
Eko Novi menjelaskan bahwa kondisi ini berkontribusi pada meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan bayi dari ibu berusia 20–30 tahun. “Perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan ibu dan anak, serta meningkatkan risiko kematian bayi,” jelasnya.
Selain itu, masalah perkawinan anak semakin kompleks ketika dilakukan tanpa pencatatan hukum atau dikenal sebagai nikah siri. Perkawinan yang tidak tercatat berpotensi menyebabkan anak kehilangan identitas hukum, karena kesulitan memperoleh akta kelahiran. Ketiadaan dokumen kependudukan berdampak langsung pada akses anak terhadap layanan dasar, seperti pelayanan kesehatan, gizi, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), hingga pendidikan. Dari sisi hukum, perempuan dan anak juga kesulitan mengakses hak waris, nafkah pasca-perceraian, serta perlindungan hukum lainnya. “Anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat akan kesulitan mendapatkan hak-hak dasar mereka,” tambahnya.
Eko Novi juga menjelaskan bahwa dari aspek sosial, perkawinan anak berkorelasi dengan meningkatnya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Data menunjukkan sekitar 24 persen perceraian terjadi pada perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun, mencerminkan rendahnya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi dalam membangun rumah tangga. Di bidang pendidikan, anak yang menikah dini umumnya tidak dapat menyelesaikan pendidikan menengah ke atas. Angka partisipasi sekolah mereka cenderung menurun drastis, terutama setelah melahirkan. Kondisi ini berdampak pada terbatasnya pilihan kerja, sehingga banyak yang terserap ke sektor informal dengan tingkat kesejahteraan rendah dan risiko eksploitasi yang lebih tinggi.
Secara makro, perkawinan anak berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi nasional, meningkatkan angka pekerja anak, serta menghambat pemberdayaan ekonomi generasi muda. Hal ini menjadi tantangan serius dalam mewujudkan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045. Meski mekanisme dispensasi kawin tersedia sebagai jalur kepastian hukum, terutama bagi anak yang terlanjur menikah akibat kondisi tertentu seperti Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), tantangan pencatatan formal dan perlindungan menyeluruh masih besar. “Perlu upaya lebih dalam penanganan dan pencegahan perkawinan anak untuk melindungi generasi muda,” pungkasnya.




















