Headline.co.id, Jakarta ~ Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) secara resmi meluncurkan hasil analisis mendalam dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 di Jakarta pada Kamis (4/12/2025). Peluncuran ini bertujuan untuk memperkuat penyediaan data nasional mengenai kekerasan terhadap perempuan. Inisiatif ini merupakan hasil kolaborasi KemenPPPA dengan berbagai pihak terkait, termasuk Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), serta didukung secara teknis oleh UNFPA.
Desy Andriani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, menjelaskan bahwa peluncuran ini adalah langkah strategis untuk mendukung prioritas nasional dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2025–2029. Salah satu target utama adalah menurunkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. SPHPN 2024 menjadi satu-satunya sumber data statistik nasional yang memberikan estimasi prevalensi kekerasan terhadap perempuan, sehingga menjadi dasar penting dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti untuk pencegahan dan penanganan kekerasan.
Menurut hasil SPHPN 2024, satu dari sepuluh perempuan Indonesia, atau sekitar 10 persen, pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan selama hidupnya. Prevalensi kekerasan lebih tinggi ditemukan di wilayah perdesaan, yang menunjukkan tingginya kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis relasi. Selain itu, hampir satu dari dua perempuan pernah mengalami kekerasan psikologis oleh pasangan, dengan pembatasan perilaku menjadi bentuk yang paling dominan. Survei juga mencatat bahwa 26,9 persen kekerasan dipicu oleh masalah ekonomi, sementara 15,8 persen terjadi tanpa alasan spesifik, menegaskan bahwa kekerasan merupakan pola kontrol, bukan reaksi sesaat.
Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di ruang publik dan digital. Sebanyak satu dari enam perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan, bahkan lebih tinggi dibanding kekerasan yang dilakukan oleh pasangan. Kekerasan banyak terjadi di sekolah dan kampus (33,6 persen), serta di rumah korban sendiri (27,6 persen). Kekerasan seksual berbasis elektronik juga meningkat, dengan 7,5 persen perempuan menjadi korban, dan prevalensi tertinggi ditemukan pada perempuan di wilayah perkotaan (8,1 persen).
Survei juga menemukan bahwa perempuan dengan disabilitas menghadapi risiko berlipat. Mereka lebih rentan mengalami kekerasan psikologis, ekonomi, serta kekerasan fisik oleh selain pasangan dibanding perempuan non-disabilitas. SPHPN 2024 mencatat bahwa 46,3 persen perempuan Indonesia pernah mengalami sunat perempuan, meskipun angka ini turun dari 50,5 persen pada 2021. Sebanyak 1,4 persen mengalami praktik sunat perempuan sesuai kategori WHO yang menyebabkan pelukaan serius.
Peluncuran analisis mendalam SPHPN 2024 dihadiri oleh berbagai Kementerian/Lembaga dan mitra pembangunan seperti Kemenko PMK, Bappenas, BPS, Kemenkes, Komnas Perempuan, PBNU, NCD, UNFPA, UN Women, dan WHO. Kehadiran mereka mengukuhkan komitmen bersama untuk menjadikan data SPHPN sebagai acuan utama dalam investasi program penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Desy menegaskan bahwa peluncuran analisis SPHPN 2024 merupakan landasan penting untuk mengakselerasi perlindungan perempuan berbasis data yang kuat. Data SPHPN 2024 memberikan gambaran nyata dan menyeluruh tentang situasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. “Ini bukan sekadar angka, tetapi suara perempuan yang harus kita dengarkan dan lindungi,” tutupnya.





















