Headline.co.id, Jakarta ~ Berdasarkan hasil kajian dan survei, perempuan memiliki risiko 14 kali lebih besar untuk menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki. Risiko tinggi ini disebabkan oleh peran sosial dan kondisi struktural yang membuat perempuan berada dalam posisi paling rentan saat bencana terjadi. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Arifah Fauzi, dalam acara Media Gathering bertajuk “Perempuan Berdaya dan Berkarya Menuju Indonesia Emas 2045” yang diadakan di Jakarta pada Sabtu (20/12/2025).
Arifah Fauzi menjelaskan bahwa dalam situasi darurat, perempuan sering kali memprioritaskan keselamatan anak-anak dan lansia. “Alih-alih segera menyelamatkan diri, mereka terlebih dahulu memastikan anggota keluarga yang rentan berada dalam kondisi aman,” ujarnya. Kondisi ini menyebabkan keterlambatan dalam proses evakuasi, yang meskipun menunjukkan kepedulian dan ketangguhan, justru meningkatkan risiko bagi keselamatan perempuan itu sendiri.
Selain peran sosial, Arifah juga menyoroti kesenjangan dalam keterampilan penyelamatan diri. Ia menyebutkan bahwa perempuan lebih jarang mendapatkan pelatihan keselamatan fisik dasar yang penting saat bencana, seperti kemampuan berenang, memanjat, atau teknik evakuasi mandiri. “Seperti kemampuan berenang, memanjat, atau teknik evakuasi mandiri yang sangat dibutuhkan dalam kondisi darurat,” tambahnya.
Sebagai langkah antisipasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkuat Program Keluarga Tangguh Bencana. “Program ini dirancang untuk meningkatkan kapasitas keluarga dengan penekanan khusus pada penguatan peran dan keterampilan perempuan,” jelas Menteri Arifah. Melalui program ini, perempuan dibekali pengetahuan kesiapsiagaan, keterampilan dasar penyelamatan diri, serta pemahaman mitigasi risiko berbasis keluarga dan komunitas.
Penguatan kapasitas ini diharapkan dapat memutus rantai kerentanan dan meningkatkan keselamatan seluruh anggota keluarga saat bencana terjadi. Peran perempuan dalam situasi bencana sering dianalogikan seperti seorang nakhoda kapal yang enggan naik ke sekoci sebelum seluruh penumpangnya selamat, mencerminkan nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun, tanpa “pelampung” berupa keterampilan dan kesiapsiagaan yang memadai, perempuan justru berada pada posisi paling berisiko. “Penguatan kapasitas perempuan bukan hanya soal perlindungan individu, melainkan juga investasi strategis untuk membangun ketangguhan keluarga dan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan,” pungkas Arifah Fauzi.



















