Headline.co.id, Jakarta ~ Penglihatan memiliki peran vital dalam menunjang aktivitas manusia sehari-hari. Melalui indera penglihatan, seseorang dapat berinteraksi, bekerja, hingga mengakses berbagai layanan publik secara optimal. Namun kenyataannya, gangguan penglihatan masih menjadi persoalan kesehatan global yang belum sepenuhnya tertangani.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setidaknya 2,2 miliar orang di dunia mengalami gangguan penglihatan, baik kesulitan melihat jarak dekat maupun jarak jauh. Ironisnya, sebagian besar kasus tersebut belum mendapatkan penanganan yang memadai. Kondisi ini berdampak luas, mulai dari menurunnya kualitas hidup, keterbatasan aktivitas sosial, hingga hambatan dalam memperoleh layanan publik.
Selama ini, kacamata dan lensa kontak menjadi solusi utama bagi penderita kelainan refraksi. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit pengguna yang mengeluhkan rasa tidak nyaman, cepat lelah, hingga ketergantungan alat bantu penglihatan dalam jangka panjang. Situasi tersebut mendorong banyak orang mulai melirik prosedur LASIK Mata sebagai alternatif medis yang lebih permanen.
LASIK, atau Laser-Assisted in Situ Keratomileusis, merupakan tindakan bedah mata berbasis teknologi laser yang bertujuan memperbaiki kelainan refraksi. Prosedur ini dapat menangani rabun jauh (miopi), rabun dekat (hipermetropia), serta astigmatisme. Pasca tindakan, pasien umumnya dapat melihat lebih jelas tanpa bantuan kacamata maupun lensa kontak.
Meski terdengar menjanjikan, LASIK tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Terdapat sejumlah persyaratan medis yang harus dipenuhi calon pasien. Salah satunya adalah batas usia minimal 18 tahun, mengingat pada usia tersebut kondisi refraksi mata relatif sudah stabil. Selain itu, kondisi kesehatan secara umum juga menjadi pertimbangan penting. Pasien dengan riwayat penyakit tertentu, seperti diabetes, gangguan autoimun, atau kondisi hamil dan menyusui, wajib menyampaikan informasi tersebut kepada dokter.
Stabilitas refraksi mata juga menjadi syarat mutlak. Calon pasien tidak boleh mengalami perubahan minus atau silinder dalam rentang enam bulan hingga satu tahun terakhir. Riwayat kesehatan mata pun harus dikaji secara menyeluruh, termasuk adanya infeksi mata, glaukoma, ablasi retina, atau sindrom mata kering yang berpotensi meningkatkan risiko pasca LASIK.
Sebelum tindakan dilakukan, calon pasien wajib menjalani serangkaian pemeriksaan pra-LASIK atau screening LASIK. Pemeriksaan ini meliputi pemetaan kornea untuk mengetahui bentuk dan kekuatan kornea secara detail, pemeriksaan produksi air mata, pengukuran ketebalan kornea, hingga pemeriksaan menggunakan specular microscope untuk mendeteksi gangguan pada kornea.
Selain itu, pemeriksaan laboratorium seperti pengecekan kadar gula darah juga dilakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi. Dokter mata kemudian akan melakukan pemeriksaan fisik mata secara menyeluruh, termasuk pemeriksaan retina dengan bantuan obat tetes pelebar pupil.
Hasil dari rangkaian pemeriksaan inilah yang menjadi dasar penentuan apakah seseorang layak menjalani LASIK atau tidak. Jika seluruh syarat terpenuhi, prosedur LASIK dapat segera dijadwalkan.
Dengan semakin berkembangnya teknologi kesehatan mata, LASIK kini menjadi salah satu solusi yang dipertimbangkan banyak orang untuk meningkatkan kualitas hidup. Kendati demikian, keputusan menjalani LASIK tetap harus didasarkan pada evaluasi medis yang matang dan konsultasi dengan dokter spesialis mata yang kompeten.























