Headline.co.id, Jakarta ~ Indonesia berada dalam posisi strategis untuk melakukan transformasi digital nasional dengan potensi ekonomi digital terbesar di ASEAN. Namun, potensi besar ini dihadapkan pada tantangan serius berupa kekurangan talenta digital dan rendahnya pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi secara produktif.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), Bonifasius Wahyu Pudjianto, dalam acara Diseminasi Laporan Kependudukan Indonesia (LKI), IPBK, dan IKIK 2025 yang diadakan di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Menurut Bonifasius, tantangan utama Indonesia saat ini bukan lagi pada pembangunan infrastruktur digital, melainkan bagaimana mengubah infrastruktur tersebut menjadi nilai ekonomi dan sosial yang nyata, terutama bagi penduduk usia produktif. Ia menjelaskan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai USD90 miliar pada 2024, meningkat menjadi USD130 miliar pada 2025, dan diperkirakan mencapai USD360 miliar pada 2030. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai kontributor terbesar ekonomi digital ASEAN dengan porsi 34,2 persen.
Potensi ini sangat relevan dengan struktur demografi Indonesia yang didominasi oleh 60–70 persen penduduk usia produktif. Digitalisasi membuka peluang kerja baru, termasuk pekerjaan sampingan bernilai tambah tinggi seperti kreator konten, pengembang aplikasi, hingga layanan dukungan teknis yang dapat dilakukan dari rumah. “Kami sangat mendorong tumbuhnya wirausaha digital, termasuk startup, sebagai alternatif penciptaan lapangan kerja yang lebih inklusif,” ujar Bonifasius.
Kemkomdigi juga memperkuat kolaborasi lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Koperasi dan UKM, untuk mendorong UMKM hingga ke wilayah perdesaan memanfaatkan teknologi digital dalam mengomersialisasikan produknya.
Di tengah peluang pasar yang besar, Indonesia menghadapi kesenjangan serius dalam kualitas dan kuantitas SDM digital. Bonifasius mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 12 juta talenta digital pada 2030, sementara suplai yang tersedia saat ini baru sekitar 8 juta orang. “Kita setiap tahun defisit sekitar 458 ribu talenta digital, khususnya skill workers,” tegasnya.
Tantangan juga datang dari tingginya permintaan tenaga digital dari industri global, sehingga talenta dalam negeri berisiko terserap oleh negara lain jika tidak segera dipenuhi. Sebagai respons, Kemkomdigi mengintensifkan program reskilling dan upskilling melalui kerja sama dengan perusahaan teknologi global dari Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan Eropa.
Materi pelatihan tersebut diakses melalui platform Digitalent Mobile Learning Management System (LMS) yang menyediakan pelatihan, sertifikasi sebagian gratis hingga penempatan kerja dan program magang. “Jika kebutuhan ini tidak segera kita penuhi, maka negara tetangga yang akan memanfaatkan pasar SDM digital kita,” ujar Bonifasius.
Bonifasius juga menyoroti empat pilar transformasi digital nasional, yakni Infrastruktur Digital, Pemerintahan Digital, Ekonomi Digital, dan Masyarakat Digital. Dari keempat pilar tersebut, pemberdayaan masyarakat digital (digital empowerment) masih lemah. Pada 2025, indeks pemberdayaan masyarakat digital diproyeksikan baru mencapai 34,32 persen, jauh tertinggal dibandingkan pembangunan infrastruktur yang bersifat mandatory. “Kalau manusianya tidak memanfaatkan teknologi untuk nilai ekonomi, pengetahuan, atau manfaat sosial, maka dampaknya tidak akan signifikan,” jelasnya.
Ia mengingatkan masyarakat agar lebih sadar dalam mengelola perilaku digital, termasuk memanfaatkan fitur Digital Wellbeing dan Parental Control pada perangkat gawai untuk mengukur apakah penggunaan teknologi sudah produktif atau sekadar untuk hiburan semata. “PR kita ke depan adalah memastikan teknologi yang sudah kita miliki benar-benar membantu pekerjaan, pendidikan anak, dan pengembangan usaha. Kalau tidak, kita hanya menghabiskan uang dan waktu,” pungkasnya.





















