Headline.co.id, Jakarta ~ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menekankan pentingnya pencegahan perkawinan anak sebagai langkah strategis untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat mendukung tercapainya generasi emas pada tahun 2045. Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kemenkes RI, Lovely Desi, dalam acara Webinar Nasional Kesehatan Reproduksi bertema “Stop Perkawinan Anak, Lindungi Masa Depan, Cegah Risiko Kesehatan” yang diadakan di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Lovely Desi menjelaskan bahwa pembangunan kesehatan ibu dan anak (KIA) masih menjadi prioritas nasional, mengingat tantangan kesehatan reproduksi yang masih tinggi di Indonesia. Berdasarkan data terbaru, angka kematian ibu mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup, sementara angka kematian bayi tercatat 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh status kesehatan ibu, terutama pada kehamilan usia muda.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi masalah stunting dengan prevalensi sebesar 19,8 persen. Lovely menambahkan bahwa berbagai indikator kesehatan tersebut berkaitan erat dengan kondisi kesehatan remaja, termasuk tingginya angka kehamilan usia dini. Data menunjukkan bahwa age specific fertility rate (ASFR) untuk usia 15–19 tahun mencapai 19,7 kelahiran per 1.000 perempuan, yang menunjukkan kehamilan terjadi pada usia yang belum ideal secara medis.
Situasi ini diperburuk oleh tingginya angka perkawinan anak. Berdasarkan data BPS tahun 2021, sebanyak 9,23 persen perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun, atau setara dengan 1 dari 11 perempuan. Selama masa pandemi, angka pengajuan dispensasi kawin juga meningkat tajam, dengan lebih dari 65 ribu kasus pada 2020 dan 63 ribu kasus pada 2021.
Lovely menjelaskan bahwa kehamilan pada usia anak sangat berisiko karena remaja masih berada dalam fase pertumbuhan. “Terjadi dua proses pertumbuhan sekaligus, yaitu ibu dan janin, yang dapat memicu komplikasi serius. Risiko tersebut meliputi anemia, preeklamsia, perdarahan, hingga persalinan prematur, serta berdampak pada bayi lahir dengan berat badan rendah dan gangguan tumbuh kembang,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kehamilan usia terlalu muda merupakan bagian dari konsep 4T yakni terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, dan terlalu dekat yang seluruhnya meningkatkan risiko kesehatan ibu dan bayi. Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia menuju generasi sehat dan berdaya saing.
Lovely mengajak seluruh pemangku kepentingan lintas sektor untuk memperkuat sinergi dalam edukasi kesehatan reproduksi dan perlindungan anak. “Menghentikan perkawinan anak adalah investasi jangka panjang untuk keselamatan ibu dan kualitas generasi penerus bangsa,” tegasnya.





















