Headline.co.id, Jogja ~ Pendidikan dan demokrasi memiliki hubungan erat yang seharusnya saling mendukung. Namun, kenyataannya, setelah reformasi, pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk rendahnya kesadaran demokratis dan ketimpangan sosial. Isu ini menjadi fokus dalam Bersuara Talkshow bertema “Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Sebagai Cermin Kualitas Demokrasi” yang berlangsung di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada pada Jumat, 21 November.
Joko Susilo dari Nalar Institute mengungkapkan bahwa meskipun 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan, sebagian besar dana tersebut digunakan untuk operasional, bukan layanan pendidikan langsung. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa pendidikan tinggi pascareformasi sangat dipengaruhi oleh ekonomi politik, yang menyebabkan negara secara perlahan melepaskan tanggung jawabnya. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah, mahasiswa, dan pekerja akademik. “Tantangan yang dihadapi bukan hanya dalam aspek akses dan anggaran tetapi juga soal kesenjangan geografis dan kelompok sosial ekonomi,” jelasnya.
Pengamat politik Rocky Gerung menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah kebebasan. Namun, feodalisme yang masih ada dalam sistem sosial menghambat perkembangan pemikiran kritis. Ia menilai bahwa kurikulum kritis tidak akan efektif tanpa adanya masyarakat yang mampu berdialektika dan berargumen. “Selama tidak ada argumentative society tidak mungkin pendidikan itu berfungsi untuk menghasilkan perubahan, selama tidak ada argumentative society tidak ada demokrasi,” tegasnya.
Rocky juga menyoroti pentingnya kurikulum alternatif yang menempatkan kebebasan dan kesetaraan sebagai prinsip utama, terutama dengan perkembangan teknologi seperti AI. Ia mencontohkan kurikulum Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis dan menekankan nilai kebebasan, persaudaraan, serta kesetaraan. “Jadi kita harus mengurai lagi bagian-bagian pikiran yang dimulai dari orang tua kita supaya dia bisa sejalan dengan kepentingan kita sehari-hari,” tambahnya.
Sementara itu, jurnalis TEMPO, Shinta Maharani, mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari inklusif. Diskriminasi berbasis gender dan disabilitas masih terjadi, dengan hanya sekitar 3% perguruan tinggi yang memiliki Unit Layanan Disabilitas (ULD). Ia juga menyatakan kekhawatiran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang dinilai diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan berpotensi mengancam kelompok minoritas, karena memperluas kontrol negara. “Demokrasi seharusnya menjamin bahwa mayoritas tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk menindas kelompok minoritas maka keputusan mayoritas dalam demokrasi harus mempertimbangkan semua pandangan dan berupaya melindungi minoritas dari tirani mayoritas,” tambahnya.






















