Headline.co.id, Surabaya ~ Nur’annafi Farni S, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap krisis empati yang meningkat di ruang komentar media sosial. Hal ini, menurutnya, mempengaruhi cara generasi muda berinteraksi dan memproduksi informasi. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Indonesia.go.id Goes To Campus yang berlangsung di Universitas Dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu (19/11/2025).
Nur’annafi menjelaskan bahwa koneksi digital yang tidak disertai kesadaran dapat menimbulkan pola komunikasi impulsif. Ia menyoroti kebiasaan menulis komentar secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan dampaknya. “Kita sering menggunakan jari delapan kali lebih cepat dari otak kita. Mau marah atau mau menanggapi sesuatu, langsung tulis. Di situ krisis empati muncul,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa ruang digital sebenarnya menyimpan peluang besar bagi mahasiswa. Media sosial dapat menjadi wadah kreativitas, tempat menulis, menarasikan pengalaman, hingga mengembangkan kompetensi komunikasi. “Jika kalian memaksimalkan ruang digital ini, kalian bisa jauh melampaui dosen-dosen kalian dalam hal eksplorasi,” katanya.
Dalam pemaparannya, Nur’annafi membahas empat pilar komunikasi efektif di ruang digital. Pertama, cerdas informasi, di mana mahasiswa diminta tidak langsung membagikan informasi yang diperoleh dari grup keluarga atau sumber tidak jelas. “Baca dulu, cek dulu. Kenali sumbernya, lihat apakah kontennya hasil rekayasa atau mengandung misinformasi,” tegasnya.
Kedua, cerdas digital, di mana setiap pengguna perlu memahami bahwa aktivitas digital selalu meninggalkan jejak. Oleh karena itu, konten harus mencerminkan nilai kebaikan dan kehati-hatian. “Scroll sambil rebahan saja bisa jadi ladang kebaikan kalau yang kalian bagikan bersifat positif,” ujarnya.
Ketiga, cerdas bersikap, di mana komentar, like, dan unggahan bukan hal sepele. Menurutnya, jejak digital dapat mempengaruhi keputusan orang lain, terutama dalam isu sensitif seperti kesehatan mental. “Ketika kalian menyukai konten gosip atau tragedi, itu ikut membentuk ekosistem negatif. Tanggung jawab itu nyata,” katanya.
Keempat, cerdas beridentitas, di mana setiap unggahan tidak hanya merepresentasikan diri pribadi, tetapi juga institusi, komunitas, bahkan Indonesia. Ia mencontohkan bagaimana komentar negatif seseorang di forum internasional bisa menciptakan pandangan buruk terhadap bangsa. “Di ruang digital, kalian membawa identitas Indonesia,” tandasnya.
Nur’annafi juga mendorong mahasiswa untuk menghadirkan empati dalam setiap interaksi digital, menghindari ujaran kebencian, serta mempertimbangkan dampak sosial dari informasi yang dibagikan. “Ruang digital ini bisa memperkuat identitas Indonesia jika digunakan dengan bijak. Indonesia bernarasi bukan hanya oleh satu orang, tapi oleh ratusan ribu suara,” ujarnya.





















