Headline.co.id, Bandung ~ Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Jawa Barat (PBHI Jabar) menekankan pentingnya reformasi mendasar dalam sistem peradilan di Indonesia. Fokus utama reformasi ini adalah penguatan integritas hakim serta peningkatan efektivitas pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY). Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua PBHI Jabar, Rizky Ramdani, dalam acara Media Gathering KY yang bertema “Refleksi Dua Dekade Menjaga dan Menegakkan Integritas Hakim” di HARRIS Hotel & Conventions Ciumbuleuit Bandung, pada Sabtu (15/11/2025).
Rizky menyoroti bahwa isu hak asasi manusia dan pencarian keadilan di Jawa Barat sangat terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 3,5 hingga 4 juta penduduk miskin di Jawa Barat, yang jika dihitung rata-rata tiga anggota per keluarga, mencapai 10 hingga 12 juta jiwa. “Di kelompok inilah persoalan hukum paling sering muncul. Mereka berhadapan dengan polisi, jaksa, hakim, dan akhirnya bersentuhan langsung dengan integritas sistem peradilan,” ujarnya.
Rizky juga mengungkapkan bahwa perjuangan hak asasi manusia di Indonesia sering kali mengalami pasang surut dan terhambat oleh kepentingan kekuasaan, sebagaimana tercatat dalam penjelasan Undang-Undang Hak Sipil dan Politik. Kondisi ini, menurutnya, relevan dengan tantangan yang dihadapi KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim. Ia menyinggung pengalaman advokasi PBHI dalam berbagai kasus, seperti Tambak Sari, Dago Elos, isu penyiksaan, konflik agraria, gender, dan pendampingan mahasiswa Papua.
Ia menegaskan bahwa mafia peradilan, akses hukum yang mahal, rumit, dan lambat, serta minimnya transparansi menjadi persoalan serius yang menghalangi rakyat miskin memperoleh haknya. “Pencari keadilan sering terhambat akses dokumen perkara. BAP, berkas penahanan hingga salinan putusan sering sulit didapatkan, padahal seluruh proses peradilan seharusnya terbuka untuk umum,” kata Rizky.
Rizky memaparkan tujuh harapan masyarakat terhadap hakim, yaitu independensi, integritas, profesionalitas, empati, transparansi putusan, ketelitian, dan akses yang nondiskriminatif. “Independensi bukan kebebasan tanpa batas. Hakim bebas dari intervensi, namun tetap terikat hukum, kode etik, dan prinsip keadilan. Tanpa integritas, independensi bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan,” tegasnya.
Publik, lanjutnya, menginginkan sistem yang menjamin hakim melaporkan potensi konflik kepentingan, menjalani audit gaya hidup dan pelaporan kekayaan, mendapatkan pendidikan etika berkelanjutan, serta dapat diawasi secara efektif oleh KY dan Mahkamah Agung (MA). PBHI menilai reformasi peradilan tidak mungkin tercapai tanpa memperjelas batas kewenangan etik dan teknis KY dan MA.
Rizky mengusulkan lima langkah strategis: revisi UU KY dan UU MA, termasuk kewenangan pemanggilan paksa bagi KY; pembentukan joint ethics office permanen KY dan MA; transparansi total rekrutmen, mutasi, dan promosi hakim yang dipublikasikan secara daring; digitalisasi pengawasan, termasuk audit gaya hidup dan pola putusan; serta pendidikan etik berkelanjutan dan perubahan budaya internal peradilan. Menurutnya, reformasi ini akan menekan praktik korupsi, meningkatkan akuntabilitas, dan memperkuat kepercayaan publik.
Rizky menutup paparannya dengan menegaskan bahwa peradilan Indonesia masih menghadapi tantangan serius. “Wajah hukum kita belum baik-baik saja. Dua dekade perjalanan KY menunjukkan bahwa reformasi belum selesai dan perlu keberanian politik serta partisipasi publik untuk memperbaikinya,” ujarnya.


















