Headline.co.id, Jakarta ~ Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) baru-baru ini membekukan sementara tanda daftar penyelenggara sistem elektronik (PSE) TikTok. Langkah ini diambil karena TikTok menolak memberikan data lengkap selama periode 25 hingga 30 Agustus, ketika terjadi gejolak sosial dan politik akibat maraknya aksi demonstrasi di Indonesia. Setelah itu, pembekuan tersebut dicabut. Namun, Kemenkomdigi kembali mengangkat isu pemblokiran dan pendaftaran ulang nomor internasional atau IMEI dengan alasan perlindungan konsumen.
Deputi Sekretaris Center for Digital Society (CfDS) UGM, Iradat Wirid, menyatakan bahwa isu pemblokiran IMEI ini merupakan wacana yang dilontarkan oleh Kemenkomdigi untuk mengukur respons masyarakat. “Saya kira ini cukup sering dilakukan yang dalam istilah politik disebut testing the water untuk melihat respon publik,” ujar Iradat pada Senin (20/10).
Menurut Iradat, aturan mengenai pemblokiran dan pendaftaran ulang IMEI ini belum jelas. Meskipun telah diumumkan oleh Menteri Komdigi, belum ada aturan turunan yang disahkan. “Apabila tujuannya untuk melindungi pengguna, saya pikir aturan turunannya harus segera disahkan atau aturan mengenai perlindungan data masyarakat duluan yang harus disahkan,” tambahnya.
Iradat juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya memiliki rencana yang jelas sebelum melempar wacana seperti ini. “Tidak hanya melempar wacana yang belum jelas arahnya,” katanya. Ia menyoroti pentingnya penggunaan identitas kependudukan yang lebih solid, seperti nomor SIM dan KTP yang sama, agar tidak membebani masyarakat. “Seperti halnya mendaftarkan ulang lagi dan administrasi sementara aturan perlindungan data pribadi belum terproteksi dengan baik dengan aturan turunan, saya pikir ini akan menambah beban pemerintah untuk bertanggung jawab lebih banyak untuk apa yang seharusnya tidak perlu dilakukan,” jelasnya.
Meski demikian, Iradat menegaskan bahwa isu pemblokiran dan pendaftaran ulang nomor IMEI ini belum bisa dianggap sebagai upaya kontrol negara. Hal ini tergantung pada aturan-aturan yang akan dibuat selanjutnya. “Sebenarnya narasi ini sudah muncul 5 tahun yang lalu ketika isu PSE ini muncul di tahun 2020, ada ketakutan tapi sejauh ini kita masih bisa bersuara,” ungkapnya.
Iradat menekankan pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap aturan-aturan baru yang akan muncul. Menurutnya, publik perlu mengkritisi karena suara publik masih memiliki kekuatan untuk mengawal. “Jadi, hubungan masyarakat, platform, atau industri ini kemudian dengan pemerintah itu harus dijaga transparansinya,” pungkasnya. Transparansi yang dimaksud adalah pemerintah harus bisa mengkomunikasikan kebijakan secara lebih baik agar tidak menimbulkan praduga hingga keresahan di masyarakat.

















